Senjata Dan Perkakas Bugis

KULAHU BESSI
Mustika besi. Benda bundar sebesar kelereng, berwarna abu-abu kehitam-hitaman. Jika digosok sampai mengkilat akan tampak seperti aluminium. Terdapat noktah-noktah kekuning-kuningan pada kulitnya. Mustika besi diyakini dapat mendatangkan kekebalan tubuh/kulit bagi pemiliknya dari senjata tajam. Makanya sering menjadi bagian dari kelengkapan seorang satria yang akan pergi berperang. Kalangan Geolog menyebutnya Hematite, satu kumpulan mineral dengan unsur besi (fe) yang dominan. Struktur mineralnya trigonal, kandungan oksigen tinggi dengan tingkat kekerasan 5-6 skala mohs. Kadang disebut juga magnesteen, karena dapat menempel pada kutub besi yang berlainan seperti magnet. Biasa ditemukan dipegunungan bekas aliran lahar ratusan tahun yang lalu.

HULO LIHU

Mustika Bambu Pethuk. Potongan bambu seukuran jempol tangan. Panjangnya kira-kira 10 cm. Potongan bambu itu punya lebih dari satu pertemuan buku-buku (ruas) pada batangnya. Cabangnya melingkar dan ada beberapa cabang pada satu ruas. Umumnya dari jenis bambu gading (bambusa vulgaris) yang berwarna kekuning-kuningan. Konon bambu kuning itu sendiri adalah jenis bambu bertuah. Orang kebal sekalipun akan terluka bila ditusuk dengan bambu gading. Makanya saat perang melawan belanda dahulu, para bule itu sangat ngeri dengan bambu runcing yang terbuat dari bambu gading, sebab lukanya sangat perih dan tak bisa sembuh.
Hulo Lihu diyakini memiliki kemampuan sebagai mustika anti kebal peluru & senjata tajam. Juga dipercaya mampu menutup luka pendarahan akibat senjata tajam. Untuk mengetahui hulo lihu itu asli atau bukan, dapat diuji dengan meletakkannya diatas sungai yang mengalir. Hulo Lihu asli akan bergerak justru melawan arah arus sungai. Atau direndam dalam air mendidih, air tersebut akan berubah menjadi dingin jika hulo lihu tersebut asli.“

PHINISI

Kawasan pembuatan perahu phinisi terletak Kabupaten Bulukumba, sekitar 150 kilometer dari Kota Makassar. Karenanya Kabupaten Bulukumba juga populer sebagai Butta Panrita Lopi  (kampung ahli perahu), Masyarakatnya terkenal sangat piawai dalam membuat perahu phinisi yang diwarisi secara turun temurun. Perajin perahu akan ditemukan di hampir setiap pesisir pantai Bulukumba. Untuk sampai ke lokasi pembuatan perahu phinisi di Bulukumba, tepatnya di Tana Beru, dibutuhkan sekitar lima hingga tujuh jam perjalanan lewat darat dari Kota Makassar. Di pesisir pantai berjarak 24 kilometer dari Ibu Kota Bulukumba inilah tempat pertama kalinya perahu Phinisi Nusantara diluncurkan untuk mengarungi Samudera Pasifik hingga ke Vancouver, Kanada, dengan dikomandoi nakhoda Ammanagappa. Phinisi ini berlayar sampai Madagaskar, juga Hati Marege dan Damar Sagara yang masing-masing berlayar ke Australia dan Negeri Sakura, Jepang.
Pembuatan perahu diawali dengan upacara ritual spesifik yang sarat dengan nilai-nilai budaya setempat. Perahu dibuat menggunakan kayu pilihan, dengan memadukan keterampilan teknis dan kekuatan magis. Pada setiap bagian kapal sarat dengan falsafah hidup. Masyarakat setempat yakin bahwa kemampuan mereka membuat perahu lebih karena kedekatan mereka pada alam dan “sukma” laut. Keahlian para panrita lopi dari Bulukumba sudah terkenal sampai ke mancanegara. Umumnya adalah pesanan orang Eropa. Teknik pembuatan kapal tradisional phinisi yang dibuat masyarakat Bulukumba terbilang unik, karena tidak lazim dan menyimpang dari teori umum teknik perkapalan. Kalau pada pembuatan perahu modern yang dibuat terlebih dahulu adalah rangka kapal kemudian diberi dinding, maka perahu yang dibuat orang di Tanah Beru justru kebalikannya. untuk membuat perahu itu, mereka membuat dinding dahulu, baru kemudian diberi kerangka atau solloro. Namun anehnya, saat proses pengapungan kapal di lautan, desain kapal yang biasanya tanpa gambar dan hanya mengikuti naluri si pembuatnya, justru memiliki keseimbangan yang luar biasa. Lebih kuat dan tahan ombak dibandingkan dengan perahu yang dibangun mulai dari rangkanya dulu. Kapal phinisi sesuai desain awalnya, juga tidak menggunakan paku melainkan pasak kayu dan kulit kayu untuk menutupi celah-celah dinding perahu.

KAWALI

Kawali (Badik) adalah senjata penikam tradisional khas bangsa bugis. Orang bugis sendiri menyebutnya dengan beberapa nama, seperti tappi (yang diselip), gajang( penikam), dan kebanyakan disebut kawali. Seperti Kawali Raja (Bone) & kawali Rankong (Luwu). Ada juga yang dinamai gecong. Terbuat dari daun nipah (Nypa fruticans). Oleh empu-pembuat keris zaman dahulu yang terkenal sakti, daun nipah diurut sembari mengiringinya dengan zikir setiap urutan hingga daun nipah mengeras seperti besi. Bentuknya tipis & wangi. Badik jenis ini paling langka, sekarang tak ada lagi pembuat badik yang mampu membuatnya. Badik ini umumnya hanya dimiliki oleh raja-raja.beserta anak turunannya.
Kawali Bone terdiri dari bessi (bilah) yang pipih, bagian ujung agak melebar serta runcing. Sedangkan kawali Luwu terdiri dari bessi yang pipih dan berbentuk lurus. Kawali memiliki bagian-bagian: pangulu (ulu), bessi (bilah) dan wanoa (sarung).. Dalam masyarakat Sulawesi Selatan dikenal dua jenis badik: badik saroso dan badik pateha. Badik saroso dibuat dengan bahan pamor, diberi kayu berukir serta sarung yang berlapis perak; sementara badik pateha dibuat dengan bentuk yang sederhana, terkadang tidak berpamor dan sarungnya terbuat dari kulit atau kayu biasa.
Badik sejati terbuat dari batu meteor. Empu pembuat badik bukanlah pembentuk pamor, sebab aura pamor akan muncul sendiri pasca penempaan. Pamor inilah yang konon menimbulkan efek magis  pada badik. Badik yang bagus adalah badik yang memiliki koneksi yang intim dengan pemiliknya. Semacama persenyawaan. Makanya, badik tidak pernah diperjualbelikan, hanya diwariskan. Karena akan menimbulkan bencana bagi mereka yang memilikinya tanpa koneksi bathiniah. Proses pembuatan kawali berlangsung dalam suatu suasana ritual. Kawali yang dibuat tanpa upacara ritual, maka kawali itu pamornya sama saja dengan pisau biasa. Pembuatan sebilah kawali umumnya selesai dalam tujuh hari. Namun, karena pembuatannya hanya dilakukan pada hari Jumat, maka satu kawali dengan pamor yang diharapkan akan selesai dalam tujuh hari Jumat berarti membutuhkan waktu 49 hari. Selama berlangsungnya pembuatan kawali, empu pembuat kawali terus-menerus berzikir. Tanpa zikir, biasanya pamor yang muncul dari badik yang dibuat membawa masalah sehingga pemiliknya justru tertikam, atau usahanya gagal, atau selalu sakit-sakitan.
Ada beberapa jenis badik berdasarkan kegunaan dari efek magisnya, contohnya badik jenis toasi yang berfungsi untuk menolak marabahaya bagi pemiliknya. Jenis sambang yang bisa menolak bahaya binatang buas. Selain itu, ada pula badik yang berfungsi sebagai benda pusaka, seperti badik saroso, yang memiliki nilai sejarah. Ada juga sebagian orang yang meyakini bahwa badik berguna sebagai azimat yang berpengaruh pada nilai baik dan buruk. Untuk menguji karakter sebuah kawali, ialah dengan cara memegang bagian ujungnya dengan ujung jari. Bila terasa sejuk, itulah badik untuk perdamaian dan kesejahteraan. Namun, bila terasa panas, apalagi sakit di ujung jari, maka itulah jenis badik pembunuh..
Badik biasanya dipegang dengan kedua tangan dalam posisi horizontal. Tangan kiri memegang bilah sarung, dan tangan erat menggemgam hulu badik, siap mencabut.
Cara menarik & memegang badik seperti ini menandakan kalau orang yang memegangnya paham filosofi penggunaan badik. Bagi orang bugis, menghunus badik dari sarungnya hanya boleh dalam keadaan feurce major. Keadaan yang dianggap diluar kuasa pemegang badiknya. Bila lawan tidak lagi memberikan peluang untuk berdamai. Sebab sekali badik keluar dari sarungnya, pantang disarungkan kembali sebelum berlumur darah.
Setiap lelaki bugis yang telah akil baliq dipastikan memiliki/menyimpan benda tajam ini. Dalam perkembangannya kawali lebih sebagai simbol penegak harga diri, menegaskan keberanian & sikap tanggungjawab dalam membela kehormatan. Dikalangan bangsawan, kawali juga sekaligus berfungsi sebagai simbol kekuasaan. Pada umumnya, badik digunakan untuk membela diri dalam menegakkan harga diri seseorang atau keluarga. Hal ini didasarkan pada budaya Siri’ dengan makna untuk mempertahankan martabat suatu keluarga. Konsep Siri’ ini sudah menyatu dalam tingkah laku, sistem sosial budaya dan cara berpikir masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar di Sulawesi Selatan.






 
 

Siapa Bisa,,???

Bagi yang tahu jawabannya, tinggalkan di kotak komentar,, beserta langkahnya,,
Bagi penjawab pertama yang benar akan mendapatkan pulsa, jadi, silahkan cantumkan nomor hp anda,,!!!







 

Asal-Usul Kota Makassar

Tiga hari berturut-turut Baginda Raja Tallo ke-VI Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mallingkaang Daeng Mannyonri KaraEng Katangka yang merangkap Tuma'bicara Butta ri Gowa (lahir tahun 1573), bermimpi melihat cahaya bersinar yang muncul dari Tallo. Cahaya kemilau nan indah itu memancar keseluruh Butta Gowa lalu ke negeri sahabat lainnya.
Bersamaan di malam ketiga itu, yakni malam Jum'at tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H atau tanggal 22 September 1605 M. (Darwa rasyid MS., Peristiwa Tahun-tahun Bersejarah Sulawesi Selatan dari Abad ke XIV s/d XIX, hal.36), di bibir pantai Tallo merapat sebuah perahu kecil. Layarnya terbuat dari sorban, berkibar kencang. Nampak sesosok lelaki menambatkan perahunya lalu melakukan gerakan-gerakan aneh. Lelaki itu ternyata melakukan sholat. Cahaya yang terpancar dari tubuh Ielaki itu menjadikan pemandangan yang menggemparkan penduduk Tallo, yang sontak ramai membicarakannya hingga sampai ke telinga Baginda KaraEng Katangka. Di pagi buta itu, Baginda bergegas ke pantai. Tapi tiba-tiba lelaki itu sudah muncul ‘menghadang’ di gerbang istana. Berjubah putih dengan sorban berwarna hijau. Wajahnya teduh. Seluruh tubuhnya memancarkan cahaya.

Lelaki itu menjabat tangan Baginda Raja yang tengah kaku lantaran takjub. Digenggamnya tangan itu lalu menulis kalimat di telapak tangan Baginda "Perlihatkan tulisan ini pada lelaki yang sebentar lagi datang merapat di pantai,” perintah lelaki itu lalu menghilang begitu saja. Baginda terperanjat. la meraba-raba matanya untuk memastikan ia tidak sedang bermimpi. Dilihatnya telapak tangannya tulisan itu ternyata jelas adanya. Baginda KaraEng Katangka lalu bergegas ke pantai. Betul saja, seorang lelaki tampak tengah menambat perahu, dan menyambut kedatangan beliau.
Singkat cerita, Baginda menceritakan pengalamannya tadi dan menunjukkan tulisan di telapak tangannya pada lelaki itu. “Berbahagialah Baginda. Tulisan ini adalah dua kalimat syahadat,” kata lelaki itu. Adapun lelaki yang menuliskannya adalah Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam sendiri. Baginda Nabi telah menampakkan diri di Negeri Baginda.
Peristiwa ini dipercaya sebagai jejak sejarah asal-usul nama "Makassar", yakni diambil dari nama "Akkasaraki Nabbiya", artinya Nabi menampakkan diri. Adapun lelaki yang mendarat di pantai Tallo itu adalah Abdul Ma'mur Khatib Tunggal yang dikenal sebagai Dato' ri Bandang, berasal dari Kota Tengah (Minangkabau, Sumatera Barat). Baginda Raja Tallo I Mallingkaang Daeng Manyonri KaraEng Katangka setelah memeluk Agama Islam kemudian bergelar Sultan Abdullah Awaluddin Awawul Islam KaraEng Tallo Tumenanga ri Agamana. Beliau adalah Raja pertama yang memeluk agama Islam di dataran Sulawesi Selatan.
Lebih jauh, penyusuran asal nama "Makassar" dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:
  1. Makna. Untuk menjadi manusia sempurna perlu "Ampakasaraki", yaitu menjelmakan (menjasmanikan) apa yang terkandung dalam bathin itu diwujudkan dengan perbuatan. "Mangkasarak" mewujudkan dirinya sebagai manusia sempurna dengan ajaran TAO atau TAU (ilmu keyakinan bathin). Bukan seperti yang dipahami sebagian orang bahwa "Mangkasarak" orang kasar yang mudah tersinggung. Sebenarnya orang yang mudah tersinggung itu adalah orang yang halus perasaannya.
  2. Sejarah. Sumber-sumber Portugis pada permulaan abad ke-16 telah mencatat nama "Makassar". Abad ke-16 "Makassar” sudah menjadi ibu kota Kerajaan Gowa. Dan pada Abad itu pula, Makassar sebagai ibu kota sudah dikenal oleh bangsa asing. Bahkan dalam syair ke-14 Nagarakertagama karangan Prapanca (1365) nama Makassar telah tercantum.
  3. Bahasa. Dari segi Etimologi (Daeng Ngewa, 1972:1-2), Makassar berasal dati kata "Mangkasarak" yang terdiri atas dua morfem ikat "mang" dan morfem bebas "kasarak". Morfem ikat "mang" mengandung arti: a). Memiliki sifat seperti yang terkandung dalam kata dasarnya. b). Menjadi atau menjelmakan diri seperti yang dinyatakan oleh kata dasarnya. ­Morfem bebas "kasarak" mengandung (arti: a). Terang, nyata, jelas, tegas. b). Nampak dari penjelasan. c). Besar (lawan kecil atau halus). 

Jadi, kata "Mangkasarak" Mengandung arti memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang (Jujur). Sebagai nama, orang yang memiliki sifat atau karakter "Mangkasarak" berarti orang tersebut besar (mulia), berterus terang (Jujur). Sebagaimana di bibir begitu pula di hati.

John A.F. Schut dalam buku "De Volken van Nederlandsch lndie" jilid I yang beracara : De Makassaren en Boegineezen, menyatakan: "Angkuh bagaikan gunung-gunungnya, megah bagaikan alamnya, yang sungai­sungainya di daerah-daerah nan tinggi mengalir cepat, garang tak tertundukkan, terutama pada musim hujan; air-air terjun tertumpah mendidih, membusa, bergelora, kerap menyala hingga amarah yang tak memandang apa-apa dan siapa-siapa. Tetapi sebagaimana juga sungai, gunung nan garang berakhir tenang semakin ia mendekati pantai. Demikian pulalah orang Bugis dan Makassar, dalam ketenangan dapat menerima apa yang baik dan indah".
Dalam ungkapan "Akkana Mangkasarak", maksudnya berkata terus terang, meski pahit, dengan penuh keberanian dan rasa tanggung jawab. Dengan kata "Mangkasarak" ini dapatlah dikenal bahwa kalau dia diperlakukan baik, ia lebih baik. Kalau diperlakukan dengan halus, dia lebih halus, dan kalau dia dihormati, maka dia akan lebih hormat.